Sekolah Sepak Bola


Bila melihat bagaimana perkembangan pesat sepakbola Jepang dua dekade terakhir, tentu hal tersebut tak terlepas dari keseriusan Negeri Matahari Terbit itu dalam membangun sepakbola mereka, terutama yang dimulai sejak usia dini.

Pengertian pembinaan sepakbola usia dini sering dianggap dimulai dari Sekolah-Sekolah Sepakbola (SSB) yang berada di negara tersebut, dan bagaimana talenta-talenta itu ditemukan di sana. Namun, bagaimana melahirkan pemain-pemain berbakat nyatanya berawal dari dalam rumah.

Taruhan Bola dan Agen Bola Di negara yang sepakbolanya sudah maju sejak lama, ada kurikulum tersendiri laiknya sekolah formal. Hal ini yang tengah dilakukan Timo Scheunemann sekarang, membangun kurikulum sepakbola yang nantinya didistribusikan ke seluruh Indonesia.

"Kami sekarang masih tahap editing untuk kurikulum sepakbolanya. Nantinya, FDSI (Forum Diskusi Suporter Indonesia) salah satu pihak yang akan mendistribusikannya, "ungkap Timo kepada Okezone.

"Distribusinya ya ke SSB, ke setiap Pengprov (manajer Provinsi). Nanti dari Pengprov juga disalurkan ke Pengcab (pengurus cabang). Bukan cuma itu, kami juga akan mengirimkan kurikulum ini ke sekolah-sekolah, "papar mantan pelatih Persema Malang ini.

"Kurikulum sekarang dibuat bukan hanya khusus untuk SSB saja, justru penerapan kurikulum ini lebih tepatnya bisa dimulai dari rumah dan sekolah. Orang tua dan guru yang sesungguhnya dasar dari seorang anak untuk memulai bermain sepakbola, "terangnya.

Menurut Timo, bukan hal yang mudah membuat kurikulum untuk sepakbola Indonesia. Sebab hal itu juga harus disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia, baik terkait minimnya fasilitas, maupun kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu mengaplikasikan kurikulum tersebut di masyarakat.

"Kurikulum harus cukup dimengerti oleh pelatih-pelatih yang nanti menerapkannya. Pelatih juga harus memiliki kemauan keras untuk memahami dan belajar dari kurikulum ini, "ujar pria yang kini dipercaya mengelola Akademi Nusantara, sebuah program PSSI untuk pembinaan usia dini di Indonesia.

"Itulah kenapa kami juga akan memberikan sosialisasi. Salah satunya, saat ini kami juga sedang negosiasi dengan salah satu stasiun televisi untuk menayangkan program trik-trik bagaimana memainkan sepakbola yang benar, "bebernya.

"Ini juga mengapa buku kurikulum sepakbola Indonesia setebal 240 halaman, jauh lebih tebal dari buku-buku kurikulum di negara yang sepakbolanya sudah maju yang hanya 40-50 halaman. Itu karena kami harus sesuaikan dengan kondisi riil di Indonesia, "jelas pria keturunan Jerman ini.

Buku yang berjudul 'Kurikulum dan Pedoman Dasar untuk Sepakbola Indonesia' ini isinya juga banyak diambil secara universal, baik dari kurikulum yang diterbitkan AFC, UEFA maupun FIFA.

"Ada standar bagaimana pelatihan yang tepat untuk anak umur berapa tahun. Setiap level usia, sudah berubah pelatihannya. Belum lagi pola makan, dan gizi yang tepat, sejak dini anak-anak harus ditanamkan, "kata Timo.

"Saat ini kan kita masih kesulitan juga menemukan pelatih berlisensi. Dalam peraturan FIFA kan ada jenjangnya, kalau pelatih berlisensi D itu untuk melatih usia 5 sampai 12 tahun dan yang berlisensi C untuk melatih usia 13-20 tahun. Dan pelatih berlisensi B dan A untuk level senior, "pungkasnya.

Sayangnya, dana Rp 13 miliar yang dijanjikan oleh Menegpora Andi Mallarangeng untuk dikucurkan demi pembangunan usia dini Akademi Nusantara, termasuk pembuatan dan pendistribusian kurikulum sepakbola ini urung juga diberikan.

Lagi-lagi, masalah pendanaan dan birokrasi menjadi biang keladi sulitnya Indonesia untuk serius membangun sepakbola sejak usia dini. Tidak ada cara instan untuk membuat prestasi Indonesia menjulang, bahkan negara-negara hebat seperti Spanyol, Brasil dan Inggris sangat mengedepankan pembangunan usia dini demi masa depan sepakbola mereka.

Naturalisasi sama sekali bukan jalan keluar menjadikan sepakbola kita berprestasi. Maka, ketika pendanaan menjadi masalah utama, kita patut miris, karena berapa banyak uang yang telah dikeluarkan untuk konflik berkepanjangan yang menimpa sepakbola Indonesia? Bukankah lebih baik menyalurkannya untuk membangun sepakbola usia dini?

Baca Lainnya